Kaum
Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang dirahmati Allah
Di
tengah kehidupan yang senantiasa bergulir, jumat demi jumat berlalu,
seiring
itu juga khutbah demi khutbah kita perdengarkan dan menyirami sejenak
hati yang
penuh ketundukan dan mengharapkan keridhoaan Allah. Kesadaran kemudian
muncul dengan tekad untuk menjadi hamba yang Allah yang taat. Namun
kadangkala
dengan rutinitas yang kembali mengisi hari-hari kita kesadaran itu
kembali tumpul
bahkan luntur. Oleh sebab itulah melalui mimbar jumat ini khotib kembali
mengajak marilah kita berupaya secara sungguh-sungguh memperbaharui
keimanan
dan ketaqwaan kita kepada Allah, memperbaharui kembali komitmen kita
kepada
Allah yang sering kita ulang-ulang namun jarang diresapi, sebuah
komitmen yang
mestinya menyertai setiap langkah kita:
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأنا من
الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya
sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta
alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan
aku adalah termasuk orang orang yang menyerahkan diri.
Kaum
Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang berbahagia
Imam Ibnu
Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya bahwa: Suatu ketika Umar bin Khathab
ra
bertanya kepada seorang sahabat bernama Ubay Ibnu Ka’ab ra tentang taqwa
walau
hal itu merupakan suatu yang hal yang sangat mereka ketahui, namun
bertanya
satu sama lainnya di antara mereka dalam rangka mendalaminya adalah hal
yang
sangat mereka sukai. Kemudian Ubay balik bertanya: “Wahai Umar,
pernahkah
engkau melalui jalan yang di penuhi duri?” Umar menjawab, "ya, saya
pernah
melaluinya. Kemudian Ubay bertanya lagi: “Apa yang akan engkau lakukan
saat
itu?”. Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sangat berhati-hati,
agar tak
terkena duri itu”. Lalu Ubayberkata: “Itulah takwa”.
Dari
riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting, bahwa takwa
adalah
kewaspadaan, rasa takut kepada Allah, kesiapan diri, kehati-hatian agar
tidak
terkena duri syahwat dan duri syubhat di tengah perjalanan menuju Allah,
menghindari perbuatan syirik, meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa,
yang
kecil maupun yang besar. Serta berusaha sekuat tenaga mentaati dan
melaksanakan
perintah-perintah Allah dengan hati yang tunduk dan ikhlas.
Hadirin
Jama’ah sholat jumat rahimakuullah
Setiap
orang beriman pasti akan menyadari bahwa ketika ia hidup di dunia ini,
ia akan
hidup dalam batas waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh penciptanya,
Allah
SWT. Usia manusia berbeda satu sama lainnya, begitu juga amal dan
bekalnya.
Setiap orang yang berimanpun amat menyadari bahwa mereka tidak mungkin
selamanya tinggal di dunia ini. Mereka memahami bahwa mereka sedang
melalui
perjalanan menuju kepada kehidupan yang kekal abadi. Sungguh sangat
berbeda dan
berlawanan sekali dengan kehidupan orang-orang yang tidak beriman. Allah
berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا .
وَالْآخِرَةُ
خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Tetapi
kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-A’la:
16-17)
Sayangnya,
kesadaran ini seringkali terlupakan oleh diri kita sendiri. Padahal,
bukan
tidak mungkin, hari ini, esok, atau lusa, perjalanan itu harus kita
lalui,
bahkan dengan sangat tiba-tiba. Jiwa manusia yang selalu digoda oleh
setan,
diuji dengan hawa nafsu, kemalasan bahkan lupa, kemudian menjadi lemah
semangat
dalam mengumpulkan bekal dan beribadah, membuat kita menyadari
sepenuhnya bahwa
kita adalah manusia yang selalu membutuhkan siraman-siraman suci berupa
Al-Quran, mutiara-mutiara sabda Rosulullah, ucapan hikmah para ulama,
bahkan
saling menasehati dengan penuh keikhlasan sesama saudara seiman.
Sehingga kita
tetap berada pada jalan yang benar, istiqomah melalui sebuah proses
perjalanan
menuju Allah SWT.
Hadirin
Jama’ah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah
Jika
kita membuka kembali lembaran kisah salafus shalih, kita akan menemukan
karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada diantara
mereka
yang konsent pada bidang tafsir, hadits, fiqih, pembersihan jiwa dan
akhlak,
atau berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya. Namun, satu persamaan yang
didapat dari para ulama tersebut, yaitu kesungguhan mereka beramal demi
memberikan kontribusi terbaik bagi sesama. Sebuah karya yang tidak hanya
bersifat pengabdian diri seorang hamba kepada Penciptanya saja, namun
juga
mempunyai nilai manfaat luar biasa bagi generasi berikutnya.
Marilah
kita renungi firman Allah berikut:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ
اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari
(kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi,
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik
kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya
Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash:
77).
Hadirin
yang dimuliakan Allah
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran penting, tentang beberapa
prinsip yang perlu kita sadari bersama
akan keberadaan
kita di dunia ini.
Pertama,
prinsip mengutamakan kebahagiaan kehidupan akherat. Prinsip ini
menghendaki
agar dalam melaksanakan kehidupan di dunia, kita senantiasa mengutamakan
pertimbangan nilai akherat. Namun perlu dipahami, mengutamakan
kebahagiaan
akherat bukan berarti dalam mewujudkan kebahagiaan duniawi diabaikan
begitu
saja, sebab amal akherat tidak berdiri sendiri dan terlepas dari amal
duniawi.
Sungguh amat banyak amalan akherat yang berhubungan erat dalam
mewujudkan
kebahagian duniawi.
Umpamanya sholat, seorang yang
melaksanakan shalat dengan
tekun dan disiplin bukanlah semata-mata sebagai amal akherat yang tidak
berdampak duniawi, sebab bila shalat itu dilaksanakan menurut tuntutan
Allah
dan rasulNya, yang secara berjamaah, niscaya ia akan banyak memberikan
hikmah
dalam kehidupan dunia. Dengan
shalat yang benar akan dapat
mencegah seseorang dari berbuat keji dan munkar. Dengan demikian manusia
akan
terhindarnya dari perbuatan yang dapat merugikan orang lain, sehingga
terciptalah ketenteraman hidup bersama di dunia ini.
Begitu
juga dengan infak dan shodaqoh, seorang yang beramal dengan niatan mulia
untuk
mendapatkan ganjaran berupa pahala dari Allah di akherat, maka dengan
hartanya
tersebut dapat memberikan manfaat bagi kehidupan orang lain yang
membutuhkan.
Kedua
prinsip ‘ahsin’ yaitu senantiasa menghendaki kebaikan. Bila seseorang
menanamkan prinsip ini dalam dirinya, niscaya ia akan menunjukkan diri
sebagai
orang yang pada dasarnya selalu menghendaki kebaikan. Ia akan senantiasa
berprasangka
baik kepada orang lain, selalu berusaha berbuat baik dan berkata baik
dalam pergaulan di kehidupan sehari-hari.
Maka akan selalu tampillah
kebaikan demi kebaikan,
mempersembahkan sebuah karya terbaiknya untuk kemanfaatan masyarakat
disekitarnya,
peduli akan kemaslahatan umum, dan meninggalkan sebuah kebaikan yang
akan
selalu dapat dikenang oleh orang banyak walaupun ia sudah pergi terlebih
dahulu
menuju kehidupan yang abadi.
Ketiga adalah prinsip walaa
tabghil fasada fil ardh’ yaitu prinsip untuk tidak berbuat kerusakan. Bila prinsip ini
dipegang
teguh, seseorang akan lebih melengkapi prinsip yang kedua, yakni
melengkapi
upayanya berbuat baik dengan upaya menghindari perbuatan yang merusak.
Terjadinya kerusakan alam, kerusakan moral, kerusakan dalam tatanan
kehidupan
masyarakat sering kali terjadi karena sudah hilangnya kesadaran akan
tujuan
hidup yang sesungguhnya, sehingga seorang lupa bahwa sesungguhnya ia
tidak
dibiarkan begitu saja, bahwa ia akan mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya
ketika ia menghadap Allah di akherat kelak.
Hadirin
sidang sholat jumat yang dimuliakan Allah
Allah
swt mengingatkan kita dengan firmannya:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى
وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
“Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqoroh: 197)
Walaupun ayat di atas menjelaskan tentang
bekal penting
dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ia merupakan gambaran
ketika
manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak, ibadah haji
merupakan
miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang mahsyar nanti
sebagaimana halnya mereka berkumpul di padang arafah. Maka bekalan utama
yang
dapat menyelamatkan itu adalah taqwa.
Firman Allah SWT di atas juga memiliki
makna tersirat
bahwa manusia memiliki dua bentuk perjalanan, yakni perjalanan di dunia
dan
perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia
memerlukan
bekal, baik berbentuk makanan, minuman, harta, kendaraaan
dan sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia juga memerlukan bekal.
Namun
perbekalan yang kedua yaitu
perbekalan perjalanan dari dunia menuju
akhirat, lebih penting dari perbekalan dalam perjalanan pertama yakni
perjalanan di dunia. Imam Fachrurrozi dalam dalam tafsirnya
menyebutkan ada lima
perbandingan antara keduanya:
Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang belum tentu terjadi. Tapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.
Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, setidaknya akan menyelamatkan kita dari kesulitan sementara, tetapi perbekalan untuk perjalanan dari dunia, akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada tara dan tiada habis-habisnya.
Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia akan menghantarkan kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami rasa sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan membuat kita terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.
Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan dan meninggalkan sesuatu dalam perjalanan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, memiliki karakter, kita akan lebih banyak menerima dan semakin lebih dekat dengan tujuan.
Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian dan kemuliaan karena itulah sebaik-baik bekal. (Tafsir Ar-Raazi 5/168)
Sesungguhnya perjalanan itu cukup berat, dan masih banyak bekal yang perlu disiapkan. Semua kita pasti tahu bekalan yang sudah kita siapkan masing-masing. Jika kita anggap bekalan itu masih kurang, tentu kita tidak akan rela seandainya tidak lama lagi ternyata kita harus segera menempuh perjalanan menuju akhirat itu.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ،
وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ،
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ
لِيْ
وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar